BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu geomorfologi merupakan ilmu pengetahuan yang kita
miliki tidak hanya tertuju pada penguasaan konsep-konsep dan materi, tetapi
juga dibutuhkan pemahaman dan penghayatan secara mendalam terhadap hubungan
antara ilmu pengetahuan tersebut dengan kenyataan yang ada di lapangan.
Pada mata kuliah Geomorfologi, mahasiswa diharapkan
memiliki pengetahuan mengenai kondisi geomorfologi suatu wilayah, baik itu
ditinjau dari sudut pandang bentuk morfologinya, bentuk tenaga geologi yang
mempengaruhi bentuk morfologi serta berbagai aspek lain. Untuk itu, pada
kesempatan yang lalu, kami telah melakukan field trip dengan rute Universitas
Halu Oleo – Kecamatan Lainea, karena daerah tersebut dapat kita gunakan untuk
mempelajari berbagai aspek geomorfologi.
Kabupaten Konawe
Selatan merupakan salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Tenggara yang
memiliki keunikan dan keberagaman bentang alam yang tercipta dari proses
geologi jutaan tahun silam. Oleh karena itu diadakannya kuliah lapangan pada
daerah Pamandati kecamatan Lainea. Berdasarkan uraian diatas maka kegiatan praktikum lapangan studi
Geomorfologi, dilaksanakan untuk mengetahui kondisi litologi, kondisi struktur
geologi, pola aliran sungai, tipe genetik sungai, dan juga satuan bentang
alamnya.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud diadakannya fieldtrip
Geomorfologi di daerah Pamandati, kecamatan Lainea, kabupaten Konawe Selatan,
provinsi Sulawesi Tenggara adalah agar dapat memahami dan mengaetahui berbagai
aspek Geomorfologi.
Tujuan diadakannya fieldtrip
Geomorfologi di daerah Pamandati, kecamatan Lainea, kabupaten Konawe Selatan,
provinsi Sulawesi Tenggara adalah :
1. Mempelajari
ilmu berbagai aspek geomorfologi daerah Pamandati, kecamatan Lainea.
2. Menganalisa
berbagai macam bentuk kondisi geomorfologi daerah Pamandati, kecamatan Lainea
diantaranya kondisi litologi, struktur geologi yang bekerja, pola aliran
sungai, tipe genetik sungai, serta satuan bentang alam lainya.
3. Membuat
peta geomorfologi berdasarkan data kondisi litologi, struktur geologi yang
bekerja, pola aliran sungai, tipe genetik sungai, serta satuan bentang alam
lainya.
1.3 Alat dan Bahan
Adapun alat dan
bahan yang digunakan dalam praktikum lapangan Geomorfologi adalah sebagai
berikut :
Tabel
1.1 Alat dan Bahan beserta fungsinya
NO.
|
Alat dan Bahan
|
Fungsi
|
1.
|
Roll
Meter
|
Alat
untuk mengukur dimensi singkapan dan mengukur jarak perhitungan debit sungai
|
2.
|
Stopwatch
|
Alat
untuk mengukur lamanya waktu dalam perhitungan debit sungai
|
3.
|
Palu
Geologi
|
Alat
untuk menyampling sampel batuan
|
4.
|
Kompas
Geologi
|
Alat
untuk menentukan arah, mengukur strike / dip dan perhitungan data kekar
|
5.
|
Kamera
|
Alat
untuk mengambil gambar/foto
|
6.
|
Alat
Tulis
|
Alat
bantu menulis
|
7.
|
Komparator
Batuan Sedimen
|
Media
menklasifikasi batuan sedimen
|
8.
|
Kantong
Sampel
|
Alat
untuk menyimpan sampel
|
9.
|
Lup
|
Alat
untuk mengamati jenis mineral didalam sampel
|
10.
|
Karung
|
Alat
untuk menyimpan sampel
|
11.
|
Peta
Lokasi
|
Untuk
memplot lokasi penelitian
|
12.
|
GPS
|
Alat
untuk mengetahui posisi lokasi penelitian
|
13.
|
Tali
Rafia
|
Alat
untuk mengikat kantong sampel
|
14.
|
Buku
Lapangan
|
Untuk
pencatatan data lapangan
|
15.
|
Kertas
A4
|
Untuk
menulis data kekar, tabel geomorfologi, tabel cuaca, dan diagram kipas
|
16.
|
Spidol
Permanen
|
Media
membuat/menandai/menamai sampel
|
17.
|
Botol
Plastik
|
Sebagai
media dalam perhitungan debit sungai
|
1.4 Waktu, Letak, dan Kesampaian Daerah
Field
Trip Geomorfologi dilaksanakan selama ± 2 hari pada tanggal 2 – 4 Desember 2016.
Bertempat di desa Pamandati, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi
Sulawesi Tenggara. Perjalanan ke
lapangan di desa Pamandati, Kecamatan Lainea, dimulai dari pelataran Fakultas
Ilmu dan Teknologi Kebumian pukul 15.30 WITA menggunakan 4 unit bus. Untuk
sampai pada posisi start dilapangan membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Dilapangan
terdapat 8 stasiun pengamatan geomorfologi. Perjalanan menuju pengamatan yang
satu dan lainnya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Pengamatan geomorfologi
membutuhkan waktu 10-20 menit.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh diadakannya
fieldtrip Geomorfologi di daerah Pamandati, kecamatan Lainea, kabupaten Konawe
Selatan, provinsi Sulawesi Tenggara adalah :
1. Mengetahu
berbagai aspek geomorfologi daerah Pamandati, kecamatan Lainea.
2. Mengetahui
berbagai macam bentuk kondisi geomorfologi daerah Pamandati, kecamatan Lainea
diantaranya kondisi litologi, struktur geologi yang bekerja, pola aliran
sungai, tipe genetik sungai, serta satuan bentang alam lainya.
3. Mengetahui
cara membuat peta geomorfologi berdasarkan data kondisi litologi, struktur
geologi yang bekerja, pola aliran sungai, tipe genetik sungai, serta satuan
bentang alam lainya.
1.6 Metode Penelitian
Metode
yang digunakan dalam fieldtrip Geomorfologi di daerah Pamandati, kecamatan
Lainea, kabupaten Konawe Selatan, provinsi Sulawesi Tenggara adalah metode measuring section dengan urutan
pengambilan data lapangan adalah :
1. Menentukan
stasiun
2. Menentukan
kordinat lokasi
3. Membentang
meteran pada setiap jarak dari stasiun satu ke stasiun lainnya
4. Menentukan
arah bentangan meter
5. Menentukan
Kemiringan atau Slope pada setiap bentangan meter
6. Menentukan
arah singkapan
7. Mengambil
data singkapan, litologi, geomorfologi, dan struktur
8. Mengambil
sampel pada singkapan sebesar hand specimen
9. Membuat
sektsa singkapan
10. Mengambil
arah sketsa singkapan
11. Mengambil
foto singkapan
12. Mengambil
arah foto singkapan
13. Membuat
data measuring section
14. Membuat
tabulasi data kekar
1.7 Tahap Persiapan
1.8 Peneliti Terdahulu
1
Rusmana, E., Sukido, Sukarna, D., Haryono, E., Simandjuntak, T.O. 1993. Keterangan Peta Geologi Lembar
Lasusua – Kendari, Sulawesi Tenggara, skala 1:250.000. Puslitbang Geologi, Bandung.
2
Sukamto, R. 1975. Structural of Sulawesi In The Light of
Plate Tectonic. Dept.of Mineral & Energi, Jakarta 21.
3
Surono,2013,
Geologi Lengan Tenggara Sulawesi, Badan Geologi, Kementrian Energi dan
Sumber daya Mineral, Bandung.
BAB
II
GEOLOGI
REGIONAL
2.1 Geomorfologi Regional
Pulau
Sulawesi, yang mempunyai luas sekitar 172.000 km2 (van Bemmelen, 1949),
dikelilingi oleh laut yang cukup dalam.Sebagian besar daratannya dibentuk oleh
pegunungan yang ketinggiannya mecapai 3.440 m (gunung Latimojong). Seperti
telah diuraikan sebelumnya, Pulau Sulawesi berbentuk huruf “K” dengan empat
lengan: Lengan Timur memanjang timur laut – barat daya, Lengan Utara memanjang
barat – timur dengan ujung baratnya membelok kearah utara – selatan, Lengan
tenggrara memanjang barat laut – tenggara, dan Lengan Selatan mebujur utara selatan.
Keempat lengan tersebut bertemu pada bagian tengah Sulawesi.
Sebagian
besar Lengan Utara bersambung dengan Lengan Selatan melalui bagian tengah
Sulwesi yang merupakan pegunungan dan dibentuk oleh batuan gunung api. Di ujung
timur Lengan Utara terdapat beberapa gunung api aktif, di antaranya Gunung
Lokon, Gunung Soputan, dan Gunung Sempu. Rangakaian gunung aktif ini menerus
sampai ke Sangihe.Lengan Timur merupakan rangkaian pegunungan yang dibentuk
oleh batuan ofiolit.Pertemuan antara Lengan Timur dan bagian Tengah Sulawesi
disusun oleh batuan malihan, sementara Lengan Tenggara dibentuk oleh batuan
malihan dan batuan ofiolit.
Seperti yang telah di uraikan
sebelumnya, pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya merupakan pertemuan tiga
lempeng yang aktif bertabrakan.Akibat tektonik aktif ini, pulau Sulawesi dan
daerah sekitarnya dipotong oleh sesar regional yang masih aktif sampai
sekarang.Kenampakan morfologi dikawasan ini merupakan cerminan system sesar
regional yang memotong pulau ini serta batuan penyusunya bagian tenga Sulawesi,lengan tenggara,dan
lengan selatan dipotong oleh sesar regional yang umumnya berarah timur laut –
barat daya. sesar yang masih aktif sampai sekarang ini umumnya merupakan sesar
geser mengiri.
2.1.1
Satuan
Morfologi
Berdasarkan relief, ketinggian,
batuan penyusun dan stadia wilayah, daerah Lainea kabupaten Konawe Selatan
secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga satuan, yaitu :
1.
Satuan
Perbukitan Rendah
Satuan morfologi
perbukitan rendah melampar luas di Utara Kendari dan ujung selatan Lengan
Tenggara Sulawesi. Satuan ini terdiri atas bukit kecil dan rendah dengan
morfologi yang bergelombang. Batuan penyusun satuan ini terutama batuan sedimen
klastika Mesozoikum dan Tersier.
2.
Satuan
Perbukitan Tinggi
Satuan ini terdiuri atas
bukit-bukit yang mencapai ketinggian 500 meter DPL dengan morfologi kasar.
Batuan penyusun morfologi ini berupa batuan sedimen klastika mesosoikum dan
tersier.
3.
Satuan
Morfologi Pedataran
Satuan
morfologi pedataran tersebar cukup luas dan malampar disekitar daerah Tinanggea,
pesisir pantai, Kolono, Roda, Landono, Palangga, Lainea, Konda dan Ranomeeto.
Satuan ini menempati sekitar 25 % dari keseluruhan luas wilayah Kabupaten
Konawe Selatan dengan ketinggian dibawah 75 m dari permukaan air laut.
Satuan morfologi
pedataran dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan persawahan, pertambangan,
perkebunanan dan pemukiman.
2.2 Stratigrafi Regional
Secara
regional di daerah penelitian adalah Mandala Sulawesi Timur yang dicirikan oleh gabungan batuan ultramafik,
mafik, dan malihan. Batuan ultra- mafik terdiri dari peridotit, serpentinit,
diorit, wherlit, hazburgit, gabro, basal, mafik malihan dan magnetit. Batuan
malihan ini secara tak selaras ditindih batuan sedimen klastika, yaitu Formasi
Meluhu dan sedirnen karbonat Formasi Laonti. Keduanya diperkirakan berumur
Trias Akhir hingga Jura Awal. Formasi Laonti terdiri atas batugamping hablur
bersisipan filit di bagian bawahnya dan setempat sisipan kalsilutit rijangan.
Formasi Meluhu tersusun dari batusabak,
filit dan kuarsit, setempat sisipan batugamping hablur.
Secara detail daerah penelitian dapat
dikelompokkan menjadi satuan satuan yang terdiri dari batuan tua ke batuan
lebih muda, yang antara lain :
2.2.1
Satuan
Batupasir Malih
Satuan
batuan ini tersebar dibeberapa lokasi di daerah Konawe Selatan yaitu daerah
Boroboro, Wolasi, Kolono dan sekitar Angata. Satuan batupasir malih ini terdiri
dari batupasir termalihkan dengan berbagai variasi, ukuran butir yaitu serpih
hitam, serpih merah, filit, batu sabak dan setempat kwarsit.
Satuan ini telah mengalami tektonik
yang sangat kuat dan berulang-ulang. Hal ini diperlihatkan dengan keadaan
sekarang yaitu umumnya terlipat, terkekarkan, tersesarkan, selain itu hampir
seluruh singkapan yang dijumpai mengalami perombakan yang kuat. Berdasarkan
ciri fisik yang dijumpai, satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi meluhu
berumur Trias - Trias Akhir, satuan ini memiliki ketebalan tidak kurang dari
1000 m. Beberapa ahli mengetahui satuan ini disebut sebagai batuan “tak
perinci” (Sukamto, 1995) Metharmorfic roch (Kartadipoetoa, 1993).
2.2.2
Satuan
Batugamping Malih
Satuan
batugamping malih, tersebar di bagian tenggara dan selatan Kabupaten Konawe
Selatan yaitu di sekitar daerah Moramo, dan Kolono. Satuan ini didominasi oleh
batugamping yang termalihkan, lemah, selain itu satuan ini juga disusun oleh
lempung yang tersilikatkan dan kalsilutit.
Satuan batugamping malih secara umum
telah mengami deformasi kuat, sehingga batuan dari satuan ini umumnya telah
tersesarkan dan terkekarkan. Berdasarkan ciri fisik yang dijumpai di lapangan,
satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Laonti yang berumur Trias Akhir.
Satuan yang memiliki ketebalan ± 500 m ini memiliki hubungan yang saling
menjemari dengan Formasi Meluhu sebanding dari satuan batupasir malih.
2.2.3
Satuan
Ultrabasa
Satuan
ultrabasa tersebar dibagian selatan daerah Konawe Selatan yaitu disekitar
daerah Torobulu, Moramo dan Daerah Trans Tinanggea bagian Selatan. Satuan ini
terdiri dari peridotit, dunit, gabro, basal dan serpentinit.
Secara umum satuan
ultrabasa ini telah mengalami pelapukan yang kuat, sehingga soil di sekitar
daerah yang tersusun oleh batuan ini sangat tebal. Batuan ultrabasa ini
diperkirakan merupakan batuan tertua dan alas di mandala Sulawesi Timur dan
diduga berumur Kapur Awal.
Satuan ini bersentuhan secara tektonik
dengan batuan Mesozoikum dan Paleogen dan secara tak selaras tertindih oleh
batuan sedimen tipe Molasa Neogen dan Kuarter (T.O Simajuntak dkk, 1993).
2.2.4
Satuan
Konglomerat
Satuan
ini tersebar pada bagian selatan yaitu di sekitar Tinanggea bagian selatan,
satuan ini terdiri dari konglomerat, batupasir, lempung dan serpih.
Satuan
Konglomerat menindih secara tidak selaras satuan batuan yang ada di bawahnya.
Berdasarkan kesamaan fisik yang dijumpai, satuan ini dapat disebandingkan
dengan Formasi Langkowala, plandua, berumur Miosan Akhir hingga Pliosen, dengan
memiliki ketebalan berkisar 450 m.
2.2.5
Satuan
Kalkarenit
Satuan
ini tersebar di bagian Selatan daerah Konawe Selatan yaitu disekitar daerah
Lapuko dan Tinanggea. Satuan ini terdiri dari kalkarenit, batugamping, koral,
batupasir dan napal.
Berdasarkan kesamaan fisik yang
dijumpai, satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Emoiko berumur
Pliosen. Satuan ini mempunyai ketebalan berkisar 200 m dengan lingkungan
pengendapan laut dangkal hingga transisi.
2.2.6
Satuan
Batulempung
Satuan tersebar dibagian Selatan
daerah Konawe Selatan yaitu disekitar sebelah Selatan Lapuko, yang terdiri dari
lempung, napal pasiran dan batupasir. Satuan ini memiliki hubungan yang saling
menjemari dengan satuan kalkarenit. Berdasarkan kesamaan fisik yang dijumpai di
lapangan, satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Boipinang, berumur
Pliosen. Satuan ini memiliki ketebalan berkisar 150 m dengan lingkungan
pengendapan transisi hingga laut dangkal.
2.2.7
Satuan
Batupasir
Satuan
ini tersebar dibagian Selatan daerah Konawe Selatan yaitu disekitar daerah
Palangga, Tinanggea dan Motaha. Satuan ini terdiri dari batupasir, konglomerat
dan lempung.
Berdasarkan kesamaan fisik yang
dijumpai di lapangan, satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Alangga,
yang berumur Pliosen. Satuan ini memiliki ketebalan berkisar 250 m dengan
lingkungan pengendapan darat hingga transisi dan menindih secara tak selaras
semua batu-batuan yang berada dibawahnya.
2.2.8
Satuan
Batugamping Koral
Satuan ini tersebar dibagian Selatan
daerah Konawe Selatan yaitu disekitar daerah Torobulu. Satuan ini terdiri dari
batugamping koral, dan batugamping pasiran memiliki ketebalan berkisar 100 m.
Berdasarkan kesamaan fisik yang dijumpai di lapangan maka satuan ini dapat
disebandingkan dengan Formasi Buara. Berumur Pliosen hingga Holosen dengan
lingkungan pengendapan laut dangkal. Satuan ini memiliki hubungan yang
menjemari dengan satuan batupasir dan menindih secara tidak selaras satuan
batuan yang berada dibawahnya.
2.2.9
Satuan
Aluvial
Satuan ini
tersebar disekitar aliran sungai besar, pantai dan rawa di daerah Konawe
Selatan. Endapan Aluvial yang ada merupakan endapan sungai, pantai dan rawa,
berupa kerikil, kerakal, pasir, lempung dan Lumpur. Endapan alluvial merupakan
satuan batuan penyusun yang paling muda dan menindih secara tidak selaras
seluruh batuan yang berada dibawahnya berumur Resen dengan ketebalan tidak
lebih dari 20 meter.
2.3 Struktur Geologi
Daerah
ini tidak dapat dipisahkan dengan proses tektonik yang telah dan mungkin masih
berlangsung di daerah ini, dimana diperlihatkan oleh kondisi batuan terutama
oleh batuan yang berumur Pra tersier yang umumnya telah mengalami perlipatan
dan perombakan yang cukup kuat dan berulang-ulang.
Struktur
Geologi yang dijumpai di daerah Konawe Selatan, meliputi lipatan, kekar dan
sesar. Lipatan dapat dijumpai dibeberapa tempat dimana batupasir malih
tersingkap, namun sangat sulit untuk menentukan arah sumbu lipatannya karena
telah terombakkan.
Kekar
dijumpai hampir seluruh satuan batuan penyusun daerah ini, kecuali alluvium dan
batuan kelompok batuan Molasa yang tidak terkonsolidasi dengan baik. Sesar
utama yang terjadi di daerah ini dapat dijumpai di daerah Kolono, yang mana
sesar Kolono ini hampir memotong seluruh batuan kecuali Aluvial.
Struktur
geologi yang terbentuk di daerah ini berarah relatif baratlaut-tenggara
yang merupakan pengaruh dari aktivitas
sesar Palu Koro dan pertumbuhan jalur tektonik Palu Mekongga.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Pengertian
Pada hakekatnya
geomorfologi dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang roman muka bumi beserta
aspek-aspek yang mempengaruhinya. Kata Geomorfologi (Geomorphology) berasal
bahasa Yunani, yang terdiri dari tiga kata yaitu: Geos (erath/bumi), morphos
(shape/bentuk), logos (knowledge atau ilmu pengetahuan). Berdasarkan dari
kata-kata tersebut, maka pengertian geomorfologi merupakan pengetahuan tentang
bentuk-bentuk permukaan bumi.
Worcester (1939)
mendefinisikan geomorfologi sebagai diskripsi dan tafsiran dari bentuk roman
muka bumi. Definisi Worcester ini lebih luas dari sekedar ilmu pengetahuan
tentang bentangalam (the science of landforms), sebab termasuk pembahasan
tentang kejadian bumi secara umum, seperti pembentukan cekungan lautan (ocean
basin) dan paparan benua (continental platform), serta bentuk-bentuk struktur
yang lebih kecil dari yang disebut diatas, seperti plain, plateau, mountain dan
sebagainya.
Lobeck (1939)
dalam bukunya “Geomorphology: An Introduction to the study of landscapes.
Landscapes yang dimaksudkan disini adalah bentangalam alamiah (natural
landscapes). Dalam mendiskripsi dan menafsirkan bentuk-bentuk bentangalam
(landform atau landscapes) ada tiga faktor yang diperhatikan dalam mempelajari
geomorfologi, yaitu: struktur, proses dan stadia.
Ketiga faktor
tersebut merupakan satu kesatuan dalam mempelajari geomorfologi. Para akhli
geolomorfologi mempelajari bentuk bentuk bentangalam yang dilihatnya dan
mencari tahu mengapa suatu bentangalam terjadi, Disamping itu juga untuk
mengetahui sejarah dan perkembangan suatu bentangalam, disamping memprediksi
perubahan perubahan yang mungkin terjadi dimasa mendatang melalui suatu
kombinasi antara observasi lapangan, percobaan secara fisik dan pemodelan
numerik.
Geomorfologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi dan
perubahan-perubahan yang terjadi pada bumi itu sendiri. Geomorfologi biasanya
diterjemahkan sebagai ilmu bentang alam. Mula-mula orang memakai kata
fisiografi untuk ilmu yang mempelajari tetang ilmu bumi ini, hal ini dibuktikan
pada orang-orang di Eropa menyebut fisiografi sebagai ilmu yang mempelajari
rangkuman tentang iklim, meteorologi, oceanografi, dan geografi. Akan tetapi
orang, terutama di Amerika, tidak begitu sependapat untuk memakai kata ini
dalam bidang ilmu yang hanya mempelajari ilmu bumi saja dan lebih erat
hubungannya dengan geologi. Mereka lebih cenderung untuk memakai kata
geomorfologi.
Geomorfologi
merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang bentuk alam dan proses yang
membentuknya. Para ahli geomorfologi mencoba untuk memahami kenapa sebuah
bentang alam terlihat seperti itu, untuk memahami sejarah dan dinamika bentang
alam, dan memprediksikan perubahan di masa depan dengan menggunakan kombinasi
pengamatan lapangan, percobaan dan modeling. Geomorfologi dipejari di geografi,
geologi, geodesi, archaeology, dan teknik kebumian.
3.2 Proses Geomorfologi
Proses
geomorfologi adalah perubahan-perubahan baik secara fisik maupun kimiawi yang
dialami permukaan bumi. Penyebab proses tersebut yaitu benda-benda alam yang
kita kenal dengan nama geomorphic agent, berupa air dan angin. Keduanya
merupakan ad penyebab yang dibantu dengan adanya gaya berat, dan keseluruhannya
bekerja bersama-sama dalam melakukan perubahan terhadap permukaan muka bumi.
Tenaga-tenaga perusak ini dapat kita golongkan dalam tenaga asal luar
(eksogen), yaitu yang datang dari luar atau dari permukaan bumi, sebagai lawan
dari tenaga asal dalam (endogen) yang berasal dari dalam bumi. Tenaga asal luar
pada umumnya bekerja sebagai perusak, sedangkan tenaga asal dalam sebagai
pembentuk.
Kedua tenaga
inipun bekerja bersama-sama dalam mengubah bentuk permukaan muka bumi ini.
a. Pembentukan
b. Perusakan
c. Pengangkutan
d. Tenaga
asala dalam
e. Pembentukan
struktur
f.
Pembentukan gunung api
g. Tenaga
asal luar
h. Gradasi
i.
Pelapukan
j.
Tenaga dari luar bumi
k. Adanya
jatuhan dari meteor
l.
Tenaga asal luar
m. Pengangkutan
bahan
n. Erosi
o. Gelombang
Geomorfologi bukan hanya sekedar
mempelajari bentuk lahan yang tampak saja, tetapi juga mentafsirkan bagaimana
bentuk-bentuk tersebut bisa terjadi, proses apa yang mengakibatkan pembentukan
dan perubahan muka bumi. Jadi meliputi bentuklahan (landform), proses-proses
yang menyebabkan pembentukan dan perubahan yang dialami oleh setiap bentuklahan
yang dijumpai di permukaan bumi termasuk yang terdapat di dasar laut/samudera
serta mencari hubungan antara bentuk lahan dengan proses-proses dalam tatanan
keruangan dan kaitannya dengan lingkungan. Dengan demikian bahwa dalam
mempelajari geomorfologi terkait pada geologi, fisiografi, dan proses
geomorfologi yang menjadi faktor yang tidak dapat diabaikan dalam perubahan
bentuk lahan. Konsep dasar Geomorfologi perlu dipahami secara baik untuk
mempelajari Geomorfologi dalam membantu mengenal dan menganalisa kenampakan
bentuk lahan di permukaan bumi, sehingga pada akhirnya dapat mengenal
peristilahan baik secara deskriptif maupun secara empiris, terutama nanti dalam
melakukan klasifikasi bentuk lahan. Geomorfologi mempunyai peran dan terapan
dalam survei dan pemetaan, survei geologi, hidrologi, vegetasi, penggunaan
lahan pedesaan, keteknikan, ekplorasi mineral, pengembangan dan perencanaan,
analisis medan, banjir, serta bahaya alam disebabkan oleh gaya endogen.
3.2.1
Pelapukan
Penyusun kulit bumi yang berupa
batuan. pelapukan sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, temperatur dan komposisi
kimia dari mineral-mineral penyusun batuan. pelapukan dapat melibatkan proses
mekanis (pelapukan mekanis), aktivitas kimiawi (pelapukan kimia), danaktivitas
organisme (termasuk manusia) yang dikenal dengan pelapukan organis. Dalam
geomorfologi, denudasi adalah istilah yang dipakai untuk mengindikasikan
lepasnya materialmaterial melalui proses erosi dan pelapukan yang berakibat
pada berkurangnya ketinggian (elevasi) dan relief dari bentuk lahan dan bentuk
bentangalam. proses eksogenik (kerja air, es, dan angin) merupakan faktor yang
mendominasi proses denudasi. denudasi dapat mengakibatkan lepasnya
partikel-partikel yang berbentuk padat maupun material yang berupa larutan.
secara geomorfologi, pelapukan mekanis maupun kimiawi terjadi dalam hubungannya
dengan pembentukan bentangalam. terdapat 3 (tiga) jenis pelapukan yang kita
kenal, yaitu pelapukan mekanis, pelapukan kimiawi, dan pelapukan biologis.
1.
Pelapukan
mekanis
Pelapukan mekanis adalah
semua mekanisme yang dapat mengakibatkan terjadinya proses pelapukan sehingga
suatu batuan dapat hancur menjadi beberapa bagian yang lebih kecil atau
partikel-partikel yang lebih halus. mekanisme dari proses pelapukan mekanis
antara lain adalah abrasi, kristalisasi es (pembekuan air) dalam batuan,
perubahan panas secara cepat (thermal fracture), proses hidrasi, dan
eksfoliasi/pengelupasan yang disebabkan pelepasan tekanan pada batuan karena
perubahan tekanan.
2.
Pelapukan
kimiawi
Pelapukan kimiawi (dikenal juga sebagai proses
dekomposisi atau proses peluruhan) adalah terurai/pecahnya batuan melalui
mekanisme kimiawi, seperti karbonisasi, hidrasi, hidrolisis, oksidasi dan
pertukaran ion-ion dalam larutan. pelapukan kimiawi merubah komposisi mineral
mineral dalam batuan menjadi mineral permukaan seperti mineral lempung. mineral-mineral
yang tidak stabil yang terdapat dalam batuan akan dengan mudah mengalami
pelapukan apabila berada dipermukaan bumi, seperti basalt dan peridotit. Air
merupakan agen yang sangat penting dalam terhadinya proses pelapukan kimia,
seperti pengelupasan cangkang (speriodal weathering) pada batun.
3.
Pelapukan
organis
Pelapukan organis dikenal
juga sebagai pelapukan biologis dan merupakan istilah yang umum dipakai untuk
menjelaskan proses pelapukan biologis yang terjadi pada penghancuran batuan,
termasuk proses penetrasi akar tumbuhan kedalam batuan dan aktivitas organisme
dalam membuat lubang-lubang pada batuan (bioturbation), termasuk didalamnya
aksi dari berbagai jenis asam yang ada dalam mineral melalui proses leaching.
pada hakekatnya pelapukan organis merupakan perpaduan antara proses pelapukan
mekanis dan pelapukan kimiawi.
Hasil
akhir dari ke-tiga jenis pelapukan batuan tersebut diatas dikenal sebagai soil
(tanah). Oleh karena tanah merupakan hasil dari pelapukan batuan maka berbagai
jenis tanah, seperti Andosol, Latosol atau Laterit tergantung pada jenis batuan
asalnya. Proses pelapukan, baik secara mekanis yang disebabkan antara lain oleh
perubahan temperatur panas , dingin, angin, hujan, es, pembekuan pada batuan
menyebabkan batuan induk mengalami disintegrasi (perombakan) menjadi bagian
yang lebih kecil, sedangkan proses kimiawi yang disebabkan oleh larutan asam,
kelembaban merubah mineral-mineral menjadi ion-ion, oksidasi besi dan alumina,
mineral silika akan menghasilkan lapisan lapisan lempung.
3.2.1
Erosi
1.
Erosi
Berlembar (Sheet Erosion)
Erosi berlembar adalah
proses pengikisan air yang terjadi pada permukaan tanah yang searah dengan
bidang permukaan tanah, biasanya terjadi pada lereng-lereng bukit yang
vegetasinya jarang atau gundul.
2.
Erosi
drainase (ravine erosion)
Erosi drainase adalah
proses pengikisan yang disebabkan oleh kerja air pada permukaan tanah (terrain)
yang membentuk saluran-saluran dengan lembah-lembah salurannya berukuran antara
beberapa centimeter hinggga satu meter.
3.
Erosi
saluran(gully erosion)
Erosi saluran adalah
erosi yang disebabkan oleh hasil kerja air pada permukaan tanah membentuk
saluran-saluran dengan ukuran lebar lembahnya lebih besar 1 (satu) meter hingga
beberapa meter
4.
Erosi
Lembah
Erosi lembah adalah
proses dari kerja air pada permukaan tanah (terrain) yang berbentuk
saluran-saluran dengan ukuran lebarnya diatas sepuluh meter.
5.
Mass
Wasting
Mass wasting pada
dasarnya adalah gerakan batuan, regolith, dan tanah kearah kaki lereng sebagai
akibat dari pengaruh gaya berat (gravity) melalui proses rayapan (creep),
luncuran (slides), aliran (flows), rebah (topples), dan jatuhan (falls). Mass
wasting umumnya terjadi di daratan maupun di lautan terutama di lereng benua.
Longsoran merupakan satu contoh yang spektakuler dari mass wasting. Hasil
pelapukan batuan yang berada di puncak puncak bukit akan tertransport sebagai
debris ke arah kaki bukit, sedangkan air sungai bertindak sebagai ban berjalan
yang membawa material hasil pelapukan menjauh dari sumbernya. Walaupun sepanjang
perjalanannya, material hasil pelapukan batuan yang dibawa oleh air sungai
kadang-kadang berhenti untuk sementara waktu, namun pada akhirnya material
tersebut akan diendapkan di tempat terakhir, yaitu di laut.
6.
Sidementasi
Sedimentasi adalah suatu proses pengendapan material
yang ditranport oleh media air, angin, es/gletser di suatu cekungan. Delta yang
terdapat di mulut-mulut sungai adalah hasil dari proses pengendapan
material-material yang diangkut oleh air sungai, sedangkan Sand Dunes yang
terdapat di gurun-gurun dan di tepi pantai adalah hasil dari pengendapan
materialmaterial yang diangkut oleh angin.
3.3 Klasifikasi Bentangalam
Sehubungan dengan
stadia geomorfologi yang dikenal juga sebagai Siklus Geomorfik (Geomorphic
cycle) yang pada mulanya diajukan Davis dengan istilah Geomorphic cycle. Siklus
dapat diartikan sebagai suatu peristiwa yang mempunyai gejala yang berlangsung
secara terus menerus (kontinyu), dimana gejala yang pertama sama dengan gejala
yang terakhir. Siklus geomorfologi dapat diartikan sebagai rangkaian gejala
geomorfologi yang sifatnya menerus. Misalnya, suatu bentangalam dikatakan telah
mengalami satu siklus geomorfologi apabila telah melalui tahapan perkembangan
mulai tahap muda, dewasa dan tua.
Stadium tua dapat
kembali menjadi muda apabila terjadi peremajaan (rejuvenation) atas suatu
bentangalam. Dengan kembali ke stadia muda, maka berarti bahwa siklus
geomorfologi yang kedua mulai berlangsung. Untuk ini dipakai formula n + 1
cycle, dimana n adalah jumlah siklus yang mendahului dari satu siklus yang
terakhir. Istilah lain yang sering dipakai untuk hal yang sama dengan siklus
geomorfologi adalah siklus erosi (cycle of erosion). Dengan adanya kemungkinan
terjadi beberapa siklus geomorfologi, maka dikenal pula istilah : the first
cycle of erosion, the second cycle of erosion, the third cycle of erosion, etc.
Misalnya suatu plateau yang mencapai tingkat dewasa pada siklus yang kedua,
maka disebut sebagai maturely dissected plateau in the second cycle of erosion.
Tabel 1.2 Klasifikasi Bentagalam
(Lobeck, 1937)
3.4 Bentuk asal dalam Geomorfologi
3.4.1
Bentuk
Lahan
Menurut
Strahler (1983), bentuk lahan adalah konfigurasi permukaan lahan yang
dihasilkan oleh proses alam. Lebih lanjut Whitton (1984) menyatakan bahwa
bentuklahan merupakan morfologi dan karakteristik permukaan lahan sebagai hasil
interaksi antara proses fisik dan gerakan kerak dengan geologi lapisan
permukaan bumi. Berdasarkan kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
bentuklahan merupakan bentang permukaan lahan yang mempunyai relief khas karena
pengaruh kuat dari struktur kulit bumi dan akibat dari proses alam yang bekerja
pada batuan di dalam ruang dan waktu tertentu. Masing-masing bentuklahan
dicirikan oleh adanya perbedaan dalam hal struktur dan proses geomorfologi,
relief/topografi dan material penyusun (Zmit, 2013).
Struktur
geomorfologi memberikan informasi tentang asal-usul (genesa) dari bentuklahan.
Proses geomorfologi dicerminkan oleh tingkat pentorehan atau pengikisan,
sedangkan relief ditentukan oleh perbedaan titik tertinggi dengan titik
terendah dan kemiringan lereng. Relief atau kesan topografi memberikan
informasi tentang konfigurasi permukaan bentuklahan yang ditentukan oleh
keadaan morfometriknya. Litologi memberikan informasi jenis dan karakteristik
batuan serta mineral penyusunnya, yang akan mempengaruhi pembentukan
bentuklahan (Zmit, 2013).
Bentuklahan
adalah suatu kenampakan medan yang terbentuk oleh proses alami yang memiliki
komposisi tertentu dan karakteristik fisikal dan visual dengan julat tertentu
yang terjadi dimanapun bentuklahan tersebut terdapat. Berdasarkan klasifikasi
yang dikemukaan oleh Van Zuidam (1969) dan Verstappen maka bentuk muka bumi
dapat diklasifikasikan menjadi 8 satuan bentuklahan utama (geomorfologi), yang
dapat masing-masing dirinci lagi berdasarkan skala peta yang digunakan. Adapun
satuan bentuk lahan tersebut adalah sebagai berikut (Zmit, 2013).
1.
Bentuklahan
asal struktural
Bentuk lahan struktural
terbentuk karena adanya proses endogen atau proses tektonik, yang berupa
pengangkatan, perlipatan, dan pensesaran. Gaya (tektonik) ini bersifat
konstruktif (membangun), dan pada awalnya hampir semua bentuk lahan muka bumi
ini dibentuk oleh kontrol struktural. Bentuklahan asal struktural adalah
sebagai berikut (Suhendra, 2009).
2.
Proses
denudasional
Proses denudasional
(penelanjangan) merupakan kesatuan dari proses pelapukan gerakan tanah erosi
dan kemudian diakhiri proses pengendapan. Semua proses pada batuan baik secara
fisik maupun kimia dan biologi sehingga batuan menjadi desintegrasi dan
dekomposisi. Batuan yang lapuk menjadi soil yang berupa fragmen, kemudian oleh
aktifitas erosi soil dan abrasi, tersangkut ke daerah yang lebih landai menuju
lereng yang kemudian terendapkan. Pada bentuk lahan asal denudasional, maka
parameter utamanya adalah erosi atau tingkat. Derajat erosi ditentukan oleh :
jenis batuannya, vegetasi, dan relief. Bentuklahan asal denudasional adalah
sebagai berikut (Suhendra, 2009).
3.
Bentuklahan
asal gunungapi (vulkanik)
Volkanisme adalah
berbagai fenomena yang berkaitan dengan gerakan magma yang bergerak naik ke
permukaan bumi. Akibat dari proses ini terjadi berbagai bentuk lahan yang
secara umum disebut bentuk lahan gunungapi atau vulkanik. Bentuklahan asal
gunungapi adalah sebagai berikut (Suhendra, 2009).
4.
Bentuklahan
asal fluvial
Bentuklahan asal proses
fluvial terbentuk akibat aktivitas aliran sungai yang berupa pengikisan,
pengangkutan dan pengendapan (sedimentasi) membentuk bentukan-bentukan
deposisional yang berupa bentangan dataran aluvial (Fda) dan bentukan lain
dengan struktur horisontal, tersusun oleh material sedimen berbutir halus.
Bentuklahan asal fluvial adalah sebagai berikut (Suhendra, 2009).
5.
Bentuklahan
asal marin
Aktifitas marine yang
utama adalah abrasi, sedimentasi, pasang-surut, dan pertemuan terumbu karang.
Bentuk lahan yang dihasilkan oleh aktifitas marine berada di kawasan pesisir
yang terhampar sejajar garis pantai. Pengaruh marine dapat mencapai puluhan
kilometer ke arah darat, tetapi terkadang hanya beberapa ratus meter saja.
Sejauh mana efektifitas proses abrasi, sedimentasi, dan pertumbuhan terumbu
pada pesisir ini, tergantung dari kondisi pesisirnya. Proses lain yang sering
mempengaruhi kawasan pesisir lainnya, misalnya : tektonik masa lalu, berupa
gunung api, perubahan muka air laut (transgresi/regresi) dan litologi penyusun.
Bentuklahan asal marin adalah sebagai berikut (Suhendra, 2009).
6.
Bentuklahan
asal pelarutan
Bentuk lahan karst
dihasilkan oleh proses pelarutan pada batuan yang mudah larut. Karst adalah
suatu kawasan yang mempunyai karekteristik relief dan drainase yang khas, yang
disebabkan keterlarutan batuannya yang tinggi. Dengan demikian Karst tidak
selalu pada batu gamping, meskipun hampir semua topografi karst tersusun oleh
batu gamping. Bentuklahan asal pelarutan adalah sebagai berikut (Suhendra,
2009).
7.
Bentuk
lahan asal Eolin (angin)
Gerakan udara atau angin
dapat membentuk medan yang khas dan berbeda dari bentukan proses lainnya.
Endapan angin terbentuk oleh pengikisan, pengangkatan, dan pengendapan material
lepas oleh angin. Endapan angin secara umum dibedakan menjadi gumuk pasir dan
endapan debu. Bentuklahan asal eolin adalah sebagai berikut (Suhendra, 2009).
8.
Bentuk
Lahan asal glasial
Bentukan ini tidak
berkembang di Indonesia yang beriklim tropis ini, kecuali sedikit di puncak
Gunung Jaya Wijaya, Papua. Bentuk lahan asal glasial dihasilkan oleh aktifitas
es/gletser yang menghasilkan suatu bentang alam. Semua satuan bentuklahan
tersebut memiliki karakter yang khas dan mencerminkan ciri tertentu. Dengan
demikian maka, dengan mengenal nama satuan bentuklahan akan dapat dibayangkan
sifat alaminya. Satuan bentuklahan ini sangat penting terutama dalam konteks
kajian lingkungan, baik lingkungan fisik, biotis, maupun kultural (Suhendra,
2009)..
9.
Bentuk
Lahan Asal Organik
Yakni suatu bentukan yang terjadi di
dalam lingkungan laut oleh aktivitas organisme endapan batugamping cangkang
dengan struktur tegar yang tahan terhadap pengaruh gelombang laut pada
ekosistem bahar
3.5 Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran
Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem
dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami,
yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Karena DAS
dianggap sebagai suatu sistem, maka dalam pengembangannya pun DAS harus
diperlakukan sebagai suatu sistem. Dengan memperlakukan sebagai suatu sistem
dan pengembangannya bertujuan untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan,
maka sasaran pengembangan DAS akan menciptakan ciri-ciri yang baik sebagai
berikut : Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi. Setiap bidang lahan
harus memberikan produktivitas yang cukup tinggi sehingga dapat mendukung
kehidupan yang layak bagi petani yang mengusahakannnya. Mampu mewujudkan,
pemerataan produktivitas di seluruh DAS. Dan dapat menjamin kelestarian
sumberdaya air. (Agus, dkk., 2007).
Fungsi hutan dalam
ekosistem DAS perlu dipandang dari tiga aspek berbeda, yaitu pohon, tanah dan
lansekap (landscape). Vegetasi hutan berfungsi mengintersepsi air hujan, namun
laju transpirasi yang tinggi mengakibatkan perbandingan dengan jenis vegetasi
non-irigasi lainnya. Tanah hutan memiliki lapisan seresah yang tebal, kandungan
bahan organik tanah, dan jumlah makro porositas yang cukup tinggi sehingga laju
infiltrasi air lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian. Dari sisi
lansekap, hutan tidak peka terhadap erosi karena memiliki filter berupa seresah
pada lapisan tanahnya. Hutan dengan karakteristik tersebut di atas sering
disebut mampu meredam tingginya debit sungai pada saat musim hujan dan menjaga
kestabilan aliran air pada musim kemarau. Namun prasyarat penting untuk
memiliki sifat tersebut adalah jika tanah hutan cukup dalam (e-3m). Dalam
kondisi ini hutan akan mampu berpengaruh secara efektif terhadap berbagai aspek
tata air (Noordwijk dan Farida, 2004).
Daerah resapan air
berperan sebagai penyaring air tanah. Ketika air masuk ke daerah resapan maka
akan terjadi proses penyaringan air dari partikel-partikel yang terlarut di
dalamnya. Hal ini dimungkinkan karena perjalanan air dalam tanah sangat lambat
dan oleh karenanya memerlukan waktu yang relatif lama. Pada keadaan normal,
aliran air tanah langsung masuk ke sungai yang terdekat (Asdak, 1995).
Berkurangnya
infiltrasi air ke dalam tanah yang mengalami erosi di bagian hulu DAS
menyebabkan pengisian kembali (recharge) air di bawah tanah (ground water) juga
berkurang yang mengakibatkan kekeringan di musim kemarau. Dengan demikian
terlihat bahwa peristiwa banjir dan kekeringan merupakan fenomena ikutan yang
tidak terpisahkan dari peristiwa erosi. Bersama dengan sedimen, unsur-unsur
hara terutama N dan P serta bahan organikpun banyak yang ikut terbawa masuk ke
dalam waduk atau danau (Agus, dkk., 2007).
3.5.1
Bentuk
Daerah Aliran Sungai
Bentuk
DAS mempengaruhi waktu konsentrasi air hujan yang mengalir menuju outlet.
Semakin bulat bentuk DAS berarti semakin singkat waktu konsentrasi yang
diperlukan, sehingga semakin tinggi fluktuasi banjir yang terjadi. Sebaliknya
semakin lonjong bentuk DAS, waktu konsentrasi yang diperlukan semakin lama
sehingga fluktuasi banjir semakin rendah. Bentuk DAS secara kuantitatif dapat
diperkirakan dengan menggunakan nilai nisbah memanjang ('elongation
ratio'/Re) dan kebulatan ('circularity
ratio'/Rc). Macam-macam benntuk daerah aliran sungai:
1.
DAS
berbentuk bulu burung
DAS ini memiliki bentuk
yang sempit dan memanjang, dimana anak-anak sunga (sub-DAS) mengalir memanjang
di sebalah kanan dan kiri sungai utama. Umumnya memiliki debit banjir yang
kecil tetapi berlangsung cukup lama karena suplai air datang silih berganti
dari masing-masing anak sungai.
2.
DAS
berbentuk radial
Sebaran
aliran sungai membentuk seperi kipas atau nyaris lingkaran. Anak-anak sungai
(sub-DAS) mengalir dari segala penjuru DAS dan tetapi terkonsentrasi pada satu
titik secara radial, akibat dari bentuk DAS yang demikian. Debit banjir yang
dihasilkan umumnya akan sangat besar, dalam catatan, hujan terjadi merata dan
bersamaan di seluruh DAS tersebut.
3.
DAS
berbentuk paralel
Sebuah DAS yang tersusun dari
percabangan dua sub-DAS yang cukup besar di bagian hulu, tetapi menyatu di
bagain hilirnya. Masing-masing sub-DAS tersebut dapat memiliki karakteristik
yang berbeda. Dan ketika terjadi hujan di Kedua sub-DAS tersebut secara
bersamaan, maka akan berpotensi terjadi banjir yang relative besar.
3.5.2
Pola
Pengairan Sungai
Sungai
di dalam semua DAS mengikuti suatu aturan yaitu bahwa aliran sungai dihubungkan
oleh suatu jaringan suatu arah dimana cabang dan anak sungai mengalir ke dalam
sungai induk yang lebih besar dan membentuk suatu pola tertentu. Pola itu
tergantungan dari pada kondisi tofografi, geologi, iklim, vegetasi yang
terdapat di dalam DAS bersangkutan.
Adapun
Pola-pola Pengairan Sungai yaitu:
1. Pola
trellis dimana memperlihatkan letak anak-anak sungai yang paralel menurut
strike atau topografi yang paralel. Anak-anak sungai bermuara pada sungai induk
secara tegak lurus. Pola pengaliran trellis mencirikan daerah pegunungan
lipatan (folded mountains). Induk sungai mengalir sejajar dengan strike,
mengalir di atas struktur synclinal, sedangkan anak-anak sungainya mengalir
sesuai deep dari sayap-sayap synclinal dan anticlinal-nya. Jadi, anak-anak
sungai juga bermuara tegak lurus terhadap induk sungainya
2. Pola
Rektanguler, dicirikan oleh induk sungainya memiliki kelokan-kelokan ± 90o,
arah anak-anak sungai (tributary) terhadap sungai induknya berpotongan tegak
lurus. Biasanya ditemukan di daerah pegunungan patahan (block mountains). Pola
seperti ini menunjukkan adanya pengaruh joint atau bidang-bidang dan/atau
retakan patahan escarp-escarp atau graben-graben yang saling berpotongan.
3. Pola
Denritik, yaitu pola sungai dimana anak-anak sungainya (tributaries) cenderung
sejajar dengan induk sungainya. Anak-anak sungainya bermuara pada induk sungai
dengan sudut lancip. Model pola denritis seperti pohon dengan tatanan dahan dan
ranting sebagai cabang-cabang dan anak-anak sungainya. Pola ini biasanya
terdapat pada daerah berstruktur plain, atau pada daerah batuan yang sejenis
(seragam, homogen) dengan penyebaran yang luas.
4. Pola
Radial Sentripugal, Pola pengaliran beberapa sungai di mana daerah hulu
sungai-sungai itu saling berdekatan seakan terpusat pada satu “titik” tetapi
muaranya menyebar, masing-masing ke segala arah. Pola pengaliran radial
terdapat di daerah gunungapi atau topografi bentuk kubah seperti pegunungan
dome yang berstadia muda, hulu sungai-sungai berada di bagian puncak, tetapi
muaranya masing-masing menyebar ke arah yang lain, ke segala arah.
5. Pola
Radial Sentripetal, Kebalikan dari pola radial yang menyebar dari satu pusat,
pola sentripetal ini justru memusat dari banyak arah. Pola ini terdapat pada
satu cekungan (basin), dan biasanya bermuara pada satu danau. Di daerah
beriklim kering dimana air danau tidak mempunyai saluran pelepasan ke laut
karena penguapan sangat tinggi, biasanya memiliki kadar garam yang tinggi
sehingga terasa asin.
6. Pola
Paralel, Adalah pola pengaliran yang sejajar. Pola pengaliran semacam ini
menunjukkan lereng yang curam. Beberapa wilayah di pantai barat Sumatera
memperlihatkan pola pengaliran parallel
7. Pola
Annular, Pola pengaliran cenderung melingkar seperti gelang; tetapi bukan
meander. Terdapat pada daerah berstruktur dome (kubah) yang topografinya telah
berada pada stadium dewasa. Daerah dome yang semula (pada stadium remaja)
tertutup oleh lapisan-lapisan batuan endapan yang berselang-seling antara
lapisan batuan keras dengan lapisan batuan lembut.
3.6 Interpretasi Geomorfologi
Ada dua cara dasar
untuk belajar mengenal dan mengidentifikasi kenampakan-kenampakan geologi pada
peta topografi. Cara pertama adalah dengan mengamati dengan teliti dan detail
terhadap bentuk-bentuk dari struktur geologi yang digambarkan dalam
bentuk-bentuk kontur pada peta topografi. Gambaran / ilustrasi dari
bentuk-bentuk semacam ini disebut sebagai kunci untuk mengenal dan
mengidentifikasi kenampakan geologi. Cara kedua adalah melalui metoda praktek
dan pelatihan sehingga memiliki kemampuan melakukan deduksi dalam
mengidentifikasi dan memaknakan kenampakan-kenampakan geologi melalui kajian
dengan berbagai kriteria. Cara kedua ini diyakini sangat dibutuhkan dalam
melakukan interpretasi.
Meskipun banyak diilustrasikan disini
bahwa kesamaan geologi yang terdapat di banyak tempat di dunia, baik secara
stuktur geologi, stratigrafi dan geomorfologi detail serta hubungan diantaranya
sangatlah unik. Berikut ini adalah beberapa cara dalam mengenal dan
mengidentikasi kenampakan-kenampakan geologi pada peta topografi. Pembuatan
peta geomorfologi akan dipermudah dengan adanya data sekunder berupa peta
topografi, peta geologi, foto udara,
citra satelit, citra radar, serta pengamatan langsung dilapangan. Interpretasi
terhadap data sekunder akan membantu kita untuk menetapkan satuan dan batas
satuan geomorfologinya.
3.7 Interpretasi Peta Topografi
Dalam
interpretasi geologi dari peta topografi, maka penggunaan skala yang digunakan
akan sangat membantu. Di Indonesia, peta topografi yang tersedia umumnya
mempunyai skala 1 : 25.000 atau 1 : 50.000 (atau lebih kecil). Acapkali skala
yang lebih besar, seperti skala 1 : 25.000 atau 1 : 12.500 umumnya merupakan
pembesaran dari skala 1 : 50.000. dengan demikian, relief bumi yang seharusnya
muncul pada skala 1 : 25.000 atau lebih besar, akan tidak muncul, dan sama saja
dengan peta skala 1 : 50.000. Dengan demikian, sasaran / objek interpretasi
akan berlainan dari setiap skala peta yang digunakan. Perhatikan Tabel dibawah.
Walaupun demikian, interpretasi pada peta topografi tetap ditujukan untuk
menginterpretasikan batuan, struktur dan proses yang mungkin terjadi pada
daerah di peta tersebut, baik analisa secara kualitatif, maupun secara
kuantitatif. Dalam interpretasi peta topografi, prosedur umum yang biasa
dilakukan dan cukup efektif adalah: 1). Menarik semua kontur yang menunjukkan
adanya lineament /kelurusan; 2). Mempertegas (biasanya dengan cara mewarnai)
sungai-sungai yang mengalir pada peta, 3). Mengelompokan pola kerapatan kontur
yang sejenis.
Tabel 1.3 Kelas lereng, dengan
sifat-sifat proses dan kondisi alamiah yang kemungkinan terjadi dan usulan
warna untuk peta relief secara umum (disadur dan disederhanakan dari Van
Zuidam, 1985)
BAB
IV
GEOMORFOLOGI
DAERAH PAMANDATI
4.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Sungai
adalah torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur alamiah
air dan material sedimen dari suatu DAS ke tempat yang lebih rendah dan
akhirnya ke laut.
4.1.1
Pola
Aliran Sungai
Pola
aliran sungai merupakan pola dari hubungan keruangan dari lembah-lembah, baik
yang dialiri sungai maupun lembah yang kering atau tidak dialiri sungai. Pola
aliran dipengaruhi oleh lereng, kekerasan batuan, struktur, sejarah
diastrofisme, sejarah geologi dan geomerfologi dari daerah alairan sungai. Dengan
demikian pola aliran sangat berguna dalam interpretasi kenampakan
geomorfologis, batuan dan struktur geologi.
Berdasarkan
fieldtrip Geomorfologi, pola aliran yang terdapat pada daerah Lainea khususnya
daerah Pamandati adalah aliran dendritik.
Pola
aliran dendritik ini menunjukkan pola aliran yang cabang-cabang sungainya
menyerupai struktur pohon, yang umumnya pola aliran ini dikontrol oleh litologi
batuan yang homogen. Sebagai contoh sungai yang mengalir diatas batuan yang
resisten akan membentuk tekstur sungai yang halus (renggang).
4.1.2
Tipe
Genetik Sungai
Sungai
yang dalam pembentukannya, sangat dipengaruhi oleh proses-proses diastrofisme
struktur – struktur geologi yang dihasilkannya, dan lereng-lereng yang
menentukan arah alirannya. Sebagaimana diketahui bahwa klasifikasi genesa
sungai ditentukan oleh hubungan struktur perlapisan batuannya.
Berdasarkan
fieldtrip geomorfologi, tipe genetik sungai yang ada di daerah lainea khususnya
daerah pamandati, memiliki tipe genetik sungai tipe konsekuen, subsekuen dan
obsekuen.
Tipe
konsekuen adalah sungai yang berkembang dan mengalir searah lereng topografi
aslinya. Sungai konsekuen sering diasosiasikan dengan kemiringan asli dan
struktur lapisan batuan yang ada di bawahnya. Selama tidak dipakai sebagi pedoman,
bahwa asal dari pembentukan sungai konsekuen adalah didasarkan atas lereng
topografinya bukan pada kemiringan lapisan batuannya.
Tipe
subsekuen adalah sungai yang berkembang di sepanjang suatu garis atau zona yang
resisten. Sungai ini umumnya dijumpai mengalir di sepanjang jurus perlapisan
batuan yang resisten terhadap erosi, seperti lapisan batupasir.
Sungai
obsekuen adalah sungai yang mengalir berlawanan arah terhadap arah kemiringan
lapisan dan berlawanan terhadap sungai konsekuen. Definisi ini juga mengatakan
bahwa sungai konsekuen mengalir searah dengan arah lapisan batuan.
4.1.3
Morfologi
Sungai
4.2 Satuan Bentang Alam
4.2.1
Morfometri
Berdasarkan
fieldtrip geomorfologi, dengan data pengamatan yang telah diperoleh satuan
bentangalam di daerah lainea khususnya daerah pamandati, berada pada satuan
perbukitan dengan relief curam-terjal. Yang umumnya memiliki ketinggian 75-200
MDPL dengan kemiringan lereng berada antara 210-550. Berdasarkan klasifikasi lereng dan sifat-sifatnya
menurut Van Zuidam 1985, darah ini sering terjadi erosi dan gerakan tanah
dengan kecepatan yang perlahan-lahan.
DAFTAR PUSTAKA
• Agus,
W. dkk., 2007. Pengertian Daerah Aliran Sungai. http//www.pdfsearch.com.
Diakses pada tanggal 13 Desember 2016
• Asdak,
K.A, 1995. Pengertian dan Konsep Daerah Aliran Sungai.
http//www.pdfsearch.com. Diakses pada tanggal 13 Desember 2016
•
Hutabarat, Silver, 2008. Kebijakan
Pengelolaan DAS Terpadu. http//www.blogspot.com. Diakses pada
tanggal 13 Desember 2016
•
Noordwijk dan Farida, 2004. Teknik
Sumber Daya Air. Erlangga : Jakarta.
•
Rusmana, E., Sukido, Sukarna, D., Haryono, E., Simandjuntak, T.O. 1993. Keterangan Peta Geologi Lembar
Lasusua – Kendari, Sulawesi
Tenggara, skala
1:250.000. Puslitbang Geologi, Bandung.
•
Sukamto,
R. 1975. Structural
of Sulawesi In The Light of Plate Tectonic. Dept.of Mineral
& Energi, Jakarta 21.
•
Surono,2013,
Geologi Lengan Tenggara Sulawesi,
Badan Geologi, Kementrian Energi dan Sumber daya Mineral, Bandung.
.
1 komentar:
Tilt of Time - Tinting of Time | Tioga Springs - Tinting of Time
Tinting of titanium white dominus price Time at Tinting of Time. anodizing titanium Tinting titanium pipe of Time. Tioga Springs. Tinting of Time. titanium teeth dog Tioga Springs. Tioga Springs. titanium oxide formula
Posting Komentar